Jumat, 21 Maret 2008

Kebun Penghasil Bensin

Oleh admin Rabu, 31 Oktober 2007 21:15:23
Bangunan di tepi jalan alternatif ke kota Sukabumi itu tersembunyi di antara kebun singkong. Tak ada yang mengira di gedung 3 kali lapangan voli itu Soekaeni mengolah umbi singkong menjadi 2.100 liter bioetanol setiap bulan. Dari jumlah itu 300 liter dijual ke pengecer premium dan 800 liter ke pengepul industri kimia. Harga jual untuk kedua konsumen itu sama: Rp10.000 per liter, sehingga pensiunan PT Telkom itu meraup omzet Rp21-juta per bulan. / /Bangunan di tepi jalan alternatif ke kota Sukabumi itu tersembunyi di antara kebun singkong. Tak ada yang mengira di gedung 3 kali lapangan voli itu Soekaeni mengolah umbi singkong menjadi 2.100 liter bioetanol setiap bulan. Dari jumlah itu 300 liter dijual ke pengecer premium dan 800 liter ke pengepul industri kimia. Harga jual untuk kedua konsumen itu sama: Rp10.000 per liter, sehingga pensiunan PT Telkom itu meraup omzet Rp21-juta per bulan. / Biaya untuk memproduksi seliter bioetanol berbahan baku singkong berkisar Rp3.400- Rp4.000. Satu liter bioetanol terbuat dari 6,5 kg singkong. Dari perniagaan bioetanol pria kelahiran 6 September 1950 itu meraup laba bersih Rp12-juta per bulan. Selain singkong, sekarang ia juga memanfaatkan molase alias limbah tetes tebu sebagai bahan baku. Bioetanol produksi Soekaeni itulah yang dimanfaatkan sebagai campuran premium oleh para tukang ojek di Nyangkowek, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Satu liter premium diberi campuran 0,1 liter bioetanol. Meski harganya lebih mahal ketimbang premium, mereka tetap membelinya karena kinerja mesin lebih bagus dan konsumsi bahan bakar lebih hemat. Setahun terakhir popularitas bioetanol alias etanol yang diproses dari tumbuhan dan biodiesel atau minyak untuk mesin diesel dari tanaman memang meningkat. Keduanya-bioetanol dan biodiesel-merupakan bahan bakar nabati. Bersamaan dengan tren itu, bermunculan produsen bioetanol skala rumahan. Menurut Eka Bukit, produsen bioetanol, kriteria skala rumahan bila produksi maksimal 10.000 liter per hari. Saat ini volume produksi skala rumahan beragam, dari 30 liter hingga 2.000 liter per hari. Selain Soekaeni di Cicurug, Sukabumi, masih ada Sugimin Sumoatmojo. Warga Bekonang, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, itu mengolah 1.500 molase alias limbah pabrik gula menjadi 500 liter bioetanol per hari. Untuk menghasilkan 1 liter bioetanol pria kelahiran 31 Desember 1947 itu memerlukan 3 liter molase. Ia mengutip laba Rp2.500 per liter sehingga keuntungan bersih mencapai Rp1.250.000 per hari. Selama sebulan, mesin bekerja rata-rata 30 hari. Dengan demikian total jenderal volume produksi mencapai 15.000 liter yang memberikan untung bersih Rp37,5-juta per bulan. Di Bekonang dan sekitarnya, produsen bioetanol skala rumahan menjamur. Menurut Sabaryono, ketua Paguyuban Perajin Bioetanol Sukoharjo, total produsen mencapai 145 orang. /*Bahan berlimpah*/ Daftar produsen bioetanol skala rumahan kian panjang jika ditulis satu per satu. Mereka bertebaran di Sukoharjo, Pati, (Jawa Tengah), Natar (Lampung), Sukabumi (Jawa Barat), Minahasa (Sulawesi Utara), dan Cilegon (Banten). Para produsen kecil itu mengendus peluang bisnis bioetanol. Harap mafhum, bahan baku melimpah, proses produksi relatif mudah, dan pasar terbentang menjadi daya tarik bagi mereka. Menurut Dr Arif Yudiarto, periset bioetanol di Balai Besar Teknologi Pati, ada 3 kelompok tanaman sumber bioetanol. Ketiganya adalah tanaman mengandung pati, bergula, dan serat selulosa. Beberapa tanaman yang sohor sebagai penghasil bioetanol adalah aren dengan potensi produksi 40.000 liter per ha per tahun, jagung (6.000 liter), singkong (2.000 liter), biji sorgum (4.000 liter), jerami padi, dan ubijalar (7.800 liter). Pada prinsipnya pembuatan bioetanol melalui fermentasi untuk memecah protein dan destilasi alias penyulingan yang relatif mudah sehingga gampang diterapkan. Berbeda dengan proses produksi biodiesel yang harus melampaui teknologi esterifikasi dan transesterifikasi. Apalagi sebetulnya bioetanol bukan barang baru bagi masyarakat Indonesia. Pada zaman kerajaan Singosari-700 tahun silam-masyarakat Jawa sudah mengenal ciu alias bioetanol dari tetes tebu. Itu berkat tentara Kubilai Khan yang mengajarkan proses produksi. Lalu pasar? Eka Bukit yang mengolah nira aren kewalahan melayani permintaan bertubi-tubi. Setidaknya 275.000 liter permintaan rutin per bulan tak mampu ia pasok. Permintaan itu datang dari industri farmasi dan kimia. ‘Pasarnya luar biasa besar,’ ujar alumnus Carlton University itu. Oleh karena itu Eka tengah membangun pabrik pengolahan bioetanol di Kabupaten Lebak, Banten. Menurut Indra Winarno, direktur PT Molindo Raya Industrial produsen di Malang, Jawa Timur, permintaan etanol, ‘Tak terbatas.’
Pasok langsung
Sebagai substitusi bahan bakar premium, permintaan bioetanol sangat tinggi. Mari berhitung, ‘Kebutuhan bensin nasional mencapai 17,5- miliar per tahun,’ ujar Ir Yuttie Nurianti, manajer Pengembangan Produk Baru Pertamina. Yuttie menuturkan 30% dari total kebutuhan itu impor. Seperti diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No 5/2006 dalam kurun 2007-2010, pemerintah menargetkan mengganti 1,48-miliar liter bensin dengan bioetanol lantaran kian menipisnya cadangan minyak bumi. Persentase itu bakal meningkat menjadi 10% pada 2011-2015, dan 15% pada 2016-2025. Pada kurun pertama 2007-2010 selama 3 tahun pemerintah memerlukan rata-rata 30.833.000 liter bioetanol per bulan. Dari total kebutuhan itu cuma 137.000 liter bioetanol setiap bulan yang terpenuhi atau 0,4%. Itu berarti setiap bulan pemerintah kekurangan pasokan 30.696.000 liter bioetanol untuk bahan bakar. Pangsa pasar yang sangat besar belum terpenuhi lantaran saat ini baru PT Molindo Raya Industrial yang memasok Pertamina. Dari produksi 150.000 liter, Molindo memasok 15.000 liter per hari. Molindo menjual biopremium melalui Pertamina Rp5.000 per liter. Mungkinkah produsen skala rumahan memasok Pertamina? Kepada wartawan /Trubus/ Imam Wiguna, Yuttie mengatakan, ‘Pertamina menerima berapa pun pasokan bioetanol dari pihak swasta. Yang penting memenuhi syarat.’ Syarat yang dimaksud sang manajer adalah berkadar etanol minimal 99,5%. Rata-rata bioetanol hasil sulingan produsen skala rumahan berkadar 90-95%. Agar syarat itu tercapai, produsen dapat mencelupkan penyerap seperti batu gamping dan zeolit sehingga kadar etanol melonjak signifikan (baca: /Bioetanol 99,5% Murnikan Saja dengan Gamping/ halaman 24-25). Selain itu, pemasok harus mengantongi izin usaha niaga bahan bakar nabati dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Ketua Tim Nasional Bahan Bakar Nabati Ir Alhilal Hamdi berupaya agar hubungan Pertamina-produsen skala kecil terjalin dengan mudah. ‘Kami akan memfasilitasi agar tercipta mekanisme paling mudah bagi industri kecil yang memasok Pertamina tanpa perantara. Perantara itu kan biaya. Atau bisa juga langsung dikirim ke SPBU karena jaringan Pertamina luas,’ ujar mantan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu (baca: Produsen Boleh Oplos Bioetanol halaman 18). Tentang harga beli, Yuttie mengatakan, ‘Harga beli yang ditawarkan produsen harus kompetitif.’ Saat ini Pertamina membeli 1 liter bioetanol Rp5.000. Toh, produsen skala rumahan pun diberi kesempatan mengoplos alias mencampur bioetanol dan premium sendiri untuk dipasarkan. Produsen yang mengoplos tak perlu takut dicokok aparat karena memang dilindungi undang-undang. Yang menggembirakan bioetanol untuk bahan bakar bebas cukai. Itu bukti bahwa pemerintah memang serius mengembangkan bioetanol sebagai sumber energi terbarukan.
Langit biru
Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar juga berdampak positif. Banyak riset sahih yang membuktikannya. Dr Prawoto kepala Balai Termodinamika, Motor, dan Propulsi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, misalnya, membuktikan kinerja mesin kian bagus setelah diberi campuran bioetanol. Riset serupa ditempuh oleh Prof Dr Ir H Djoko Sungkono dari Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Hasil penelitian Prawoto menunjukkan, dengan campuran bioetanol konsumsi bahan bakar semakin efisien. Mobil E20 alias yang diberi campuran bioetanol 20%, pada kecepatan 30 km per jam, konsumsi bahan bakar 20% lebih irit ketimbang mobil berbahan bakar bensin. Jika kecepatan 80 km per jam, konsumsi bahan bakar 50% lebih irit. Duduk perkaranya? Pembakaran makin efisien karena etanol lebih cepat terbakar ketimbang bensin murni. Pantas semakin banyak campuran bioetanol, proses pembakaran kian singkat. Pembakaran sempurna itu gara-gara bilangan oktan bioetanol lebih tinggi daripada bensin. Nilai oktan bensin cuma 87-88; bioetanol 117. Bila kedua bahan itu bercampur, meningkatkan nilai oktan. Contoh penambahan 3% bioetanol mendongkrak nilai oktan 0,87. ‘Kadar 5% etanol meningkatkan 92 oktan menjadi 94 oktan,’ ujar Sungkono, alumnus University of New South Wales Sydney. Makin tinggi bilangan oktan, bahan bakar makin tahan untuk tidak terbakar sendiri sehingga menghasilkan kestabilan proses pembakaran untuk memperoleh daya yang lebih stabil. Campuran bioetanol 3% saja, mampu menurunkan emisi karbonmonoksida menjadi hanya 1,35%. Bandingkan bila kendaraan memanfaatkan premium, emisi senyawa karsinogenik alias penyebab kanker itu 4,51%. Nah, ketika kadar bioetanol ditingkatkan, emisi itu makin turun. Program langit biru yang dicanangkan pemerintah pun lebih mudah diwujudkan. Dampaknya, masyarakat kian sehat. Saat ini campuran bioetanol dalam premium untuk mobil konvensional maksimal 10% atau E10. Bahkan di Brasil, mobil konvensional menggunakan E20 alias campuran bioetanol 20% tanpa memodifikasi mesin. Penggunaan E100 atau E80 pada mobil konvensional tanpa modifikasi mesin tidak disarankan karena khawatir merusak mesin. Namun, kini muncul flexi car alias kendaraan fleksibel yang dapat menggunakan bioetanol hingga 100% atau premium 100% pada waktu yang lain. Di Amerika Serikat saat ini terdapat 5-juta flexi car dengan penambahan 1- juta kendaraan per tahun.
Berebut bahan
Meski banyak keistimewaan, bisnis bioetanol bukannya tanpa hambatan. Salah satu aral penghadang bisnis itu adalah terbatasnya pasokan bahan baku. Saat ini sebagian besar produsen mengandalkan molase sebagai bahan baku. Padahal, limbah pengolahan gula itu juga dibutuhkan industri lain seperti pabrik kecap dan penyedap rasa. Bahkan, sebagian lagi di antaranya diekspor. Indra Winarno mengatakan molase menjadi emas hitam belakangan ini. Dampaknya, hukum ekonomi pun bicara. Begitu banyak permintaan, harga beli bahan baku pun membubung sehingga margin produsen bioetanol menyusut. Beberapa produsen melirik singkong sebagai alternatif. Banyak yang membenamkan investasi di Lampung karena provinsi itu penghasil singkong terbesar di tanahair. Kehadiran mereka ternyata mendongkrak harga ubikayu di sana. ‘Dulu harganya di bawah Rp300 per kg. Sekarang lebih dari Rp400,’ ujar Donny Winarno, vice president PT Molindo Raya Industrial. Kenaikan harga itu berkah bagi para pekebun. Di sisi lain menyulitkan para produsen. ‘Saya berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan yang juga melindungi produsen,’ ujar alumnus University of California itu. Jika hambatan teratasi, produsen silakan meraup rupiah dari tetesan bioetanol. Soalnya, pasar bioetanol-sebagai bahan bakar-memang sangat besar karena populasi kendaraan bermotor meningkat. Menurut Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, penjualan mobil meningkat rata-rata 53.400 unit per tahun. Pemilik mobil tak perlu memodifikasi mesin untuk menggunakan campuran bioetanol. Pasar itu kian luas dan membaik ketika subsidi bahan bakar yang nilainya Rp1.681,25 per liter itu dicabut. Dengan kebutuhan 17-miliar liter, pemerintah menggelontorkan dana Rp28,6-triliun per tahun. Terlepas dari urusan bahan bakar, peluang pasar bioetanol tetap besar. Itu lantaran banyak industri yang memerlukannya. Sekadar menyebut contoh, industri bumbu masak, bedak, cat, farmasi, minuman berkarbonasi, obat batuk, pasta gigi dan kumur, parfum, serta rokok memerlukannya. Bahkan industri tinta pun perlu bioetanol. Produk itu berfaedah sebagai pelarut, bahan pembuatan cuka, dan asetaldehida. Menurut Ir Agus Purnomo, ketua Asosiasi Spiritus dan Etanol Indonesia (Asendo), kebutuhan etanol untuk industri rata-rata 140-juta liter per tahun.
Investasi marak
Dengan segala kelebihan di atas, penggunaan bioetanol agaknya kian mendesak. Bukan hanya karena industri itu menjadi lokomotif pengembangan ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan. Namun, juga lantaran harga minyak bumi yang diperkirakan melambung hingga US$100 per barel (1 barel = 117,35 liter) pada tahun mendatang. Itulah sebabnya, Johan Bukit produsen bioetanol memperkirakan, ‘Siapa pun presiden terpilih, pada 2009 sulit mempertahankan subsidi bahan bakar.’ Kondisi itu mendorong banyak investor membenamkan modal untuk membangun kilang hijau alias energi terbarukan. Johan Arnold Manonutu, misalnya, menjalin kemitraan dengan masyarakat Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Anak tunggal mantan Menteri Penerangan zaman Bung Karno itu menggelontorkan dana jutaan rupiah untuk membeli 5 unit mesin produksi bioetanol berkapasitas masing-masing 200 l/hari. Mesin-mesin itu ‘dipinjamkan’ kepada warga Desa Menara, Kecamatan Amurang Timur, Kabupaten Minahasa Selatan. Satu unit mesin dikelola 3 orang. Johan menampung hasil produksi mereka yang mencapai 1.000 liter sehari, dengan harga Rp6.000 per liter. ‘Harga itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga cap tikus yang hanya Rp300 per liter,’ ujarnya. Cap tikus yang ia maksud adalah sulingan nira aren berkadar etanol 35% yang lazim digunakan untuk bahan minuman keras. Johan memasarkan etanol itu ke beberapa rumahsakit untuk sterilisasi. Dengan harga jual Rp16.000-Rp17.000 per liter, omzetnya Rp16-juta-Rp17-juta per hari. Edy Darmawan dari PT Indo Acidatama berencana membangun pabrik pengolahan berkapasitas 50-juta liter per tahun di Lampung. Begitu juga Sugar Group Company (SGC), pemilik 3 pabrik gula raksasa yang mendirikan pabrik berkapasitas sama di Lampung Tengah. Mereka mengendus peluang besar dengan membangun kilang hijau yang ramah lingkungan. Pangsa pasar terbentang luas, harga memadai, bahkan dapat digunakan untuk keperluan sendiri. Itulah bioetanol, ‘bensin’ dari tetumbuhan. Ingin membangun kilang di halaman rumah agar mencecap manisnya berbisnis bioetanol?
(Sardi Duryatmo/Peliput: Andretha Helmina, Imam Wiguna, Lani Marliani, & Nesia Artdiyasa)
Sumber: Trubus Majalah Pertanian Indonesia : http://www.trubus-online.com Online version: http://www.trubusonline.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=80

Bio Etanol dari Singkong


Malang, Kompas - Setelah tetes tebu, etanol sebagai campuran untuk bahan bakar alternatif biopremium akan dikembangkan dari bahan baku singkong.
"Diharapkan, produksi etanol dari singkong ini sudah bisa dimulai pada tahun 2007 mendatang," kata Presiden Direktur PT Molindo Raya Industrial Sandoyo Rustanto, Selasa (15/8).
Untuk kebutuhan ini, Sandoyo mengatakan, pihaknya saat ini tengah mencari daerah Jawa Timur yang potensial untuk memasok singkong.
Selain tetes tebu, Sandoyo mengatakan, komoditas lain yang dapat menjadi bahan baku etanol adalah singkong dan jagung. Namun, singkong lebih menarik untuk dilirik karena memiliki harga jual yang lebih murah di tingkatan petani.
Sandoyo mengatakan, etanol dari singkong ini dimungkinkan akan digenjot hingga menghasilkan volume produksi yang sama dengan etanol dari tetes, yaitu 50.000 kiloliter per tahun.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang Ekanto Selar mengatakan bahwa Kabupaten Malang sendiri memiliki potensi lahan kering seluas 113.000 hektar. Dari luas tersebut, sebanyak 32.278 hektar kini telah ditanami tebu, 20.000 merupakan lahan kosong yang belum ditanami, dan sekitar 60.000 hektar sisanya ditanami tanaman tahunan lain seperti singkong, jagung, dan jarak.
"Dengan potensi pertanian yang ada tersebut, pada dasarnya kami siap untuk mendukung suplai bahan baku untuk pengembangan bahan bakar alternatif," tuturnya.
Namun, menurut Ekanto, produksi etanol di Kabupaten Malang dirasakan lebih baik memakai tetes tebu. Pasalnya, produksi tebu tiap tahun selalu berlimpah ruah. Terbukti, masa giling tahun 2005 berjalan hingga 226 hari, melebihi masa giling ideal yang seharusnya berjalan 180-200 hari. (EGI) Sumber kompas 16 Agustus 2006

Singkong dan bisnis minyak

Ir. Wahyudin Munawir, anggota FPKS DPR RI komisi VII menulis tentang singkong dan bisnis minyak. Berikut adalah tulisan selegkapnya
Harga minyak dunia yang melambung, sudah lama diprediksi. Logikanya, minyak bumi (fossil fuel) adalah bahan bakar yang tak dapat diperbarui. Cepat atau lambat, minyak dunia akan habis. Saat ini, harga minyak memang sedang booming karena kebutuhan negara-negara industri baru seperti India dan Cina sangat tinggi.
Ke depan, jika negara-negara di dunia tak segera mengantisipasi kelangkaan fossil fuel, harga minyak akan naik tinggi sekali. Tapi sebaliknya, jika negara-negara di dunia menyiapkan antisipasinya sejak sekarang, niscaya harga minyak tak akan naik lagi, bahkan bisa turun. Mengapa? Karena dunia nantinya bisa mencari pengganti minyak fosil yang aman, murah, dan mudah diproduksi oleh siapa pun. Saat ini, industri minyak hanya dipegang oleh para pemodal besar.
Biofuel dari SukabumiMajalah Trubus edisi November 2007 memaparkan 'kebun-kebun penghasil bensin di Pulau Jawa'. Di wilayah Sukabumi, misalnya, ternyata sudah muncul industri rumahan biofuel yang sederhana. Pak Soekani dari kampung Nyangkowek, Kecamatan Cicurug, Sukabumi, salah seorang warga yang memproduksi 'bensin' itu. Tiap bulan dia berhasil mengolah singkong menjadi etanol (alkohol) 95 persen sebanyak 2.100 liter.
Dari jumlah itu, 300 liter dijual ke pengecer premium, dan 800 liter lainnya dijual ke industri kimia. Harga per liter etanol itu, Rp 10 ribu. Tiap liter etanol dibuat dari 6,5 kg singkong. Harga produksi etanol per liter Rp 3.400-Rp 4.000. Dari bisnis 'energi' yang berasal dari singkong itu, Pak Soekani mendapatkan omzet 21 juta per bulan. Langkah Pak Soekani itu, kini mulai banyak diikuti penduduk desa lainnya.
Mungkin anda bertanya, mengapa pengecer premium mau membeli etanol made in Pak Soekani seharga Rp 10 ribu per liter? Ternyata, pasar itu tercipta dari pengalaman tukang ojek di Cicurug. Premium yang dicampur 5-10 persen alkohol, angka oktannya naik. Kendaraan makin bertenaga dan bahan bakarnya makin hemat 20-30 persen. Belakangan, di Sukabumi juga sudah ada orang yang membuat kompor berbahan bakar alkohol. Kompor jenis ini, konon, lebih irit.
Kisah Pak Soekani menggambarkan bahwa bisnis biofuel tidak seperi fossil fuel (dalam hal ini BBM), bisa dilakukan siapa saja, bahkan dengan skala rumahan dan kaki lima. Karena itu, ke depan, jika pemerintah dan masyarakat ramai-ramai mengembangkan biofuel, niscaya kesejahteraan di Indonesia akan makin merata. Tak hanya itu, lahan-lahan kosong pun akan menghijau.
Memang ada kekhawatiran bahwa kebun-kebun biofuel itu akan merusak lingkungan dan keanekaragaman jenis di Indonesia. Namun jika sejak awal pemerintah membuat peta pengembangan industri biofuel secara nasional, niscaya kekhawatiran tersebut bisa direduksi. Ini karena pada peta tersebut akan ditunjukkan daerah-daerah yang pas untuk mengembangkan biofuel jenis tertentu.
Peluang bisnis biofuel di dunia sangat besar. Berdasarkan laporan Clean Edge seperti dikutip buku The Clean Tech Revolution (2007) karya Ron Pernick dan Clint Wilder, pasar biofuel di dunia tahun 2006 mencapai 20,5 miliar dolar AS (untuk etanol dan biodisel). Nilai pasar itu akan meningkat empat kali lipat pada tahun 2016. Di AS, etanol dicampur dengan gasoline (premium) dengan kadar campuran 2-85 persen. Di Brazil, sudah diproduksi mesin-mesin yang bisa memakai etanol seluruhnya (100 persen). Namun demikian, kondisi pasar etanol di Brazil sangat fleksibel. Jika harga BBM tinggi sekali, maka campuran etanol pada premium diperbesar, dan sebaliknya.
Tahun 2006, produksi etanol di dunia mencapai 12 miliar galon. Di AS, campuran premium dan 10 persen etanol (E-10) dipakai mobil-mobil tanpa modifikasi mesin. Sedangkan untuk campuran 85 persen etanol (E-85), mesinnya dimodifikasi dengan flex-fuel vehicle (FFVs). Jika produksi etanol di dunia makin besar dan kendaraan di dunia sudah pro-biofuel, niscaya semua kendaraan di muka bumi akan memakainya. Jika sudah demikian, 'emas hitam' yang berasal dari kilang-kilang minyak di Timur Tengah akan bergeser ke 'emas hijau' yang berasal dari kebun-kebun minyak di daerah tropis seperti Asia dan Amerika Latin.
Pemerataan ekonomiSetiap ada ancaman, pasti ada peluang. Harga minyak yang mahal jangan hanya dilihat sebagai ancaman, melainkan juga peluang. Peluang ini bisa menyadarkan seluruh komponen masyarakat Indonesia bahwa ketergantungan pada BBM adalah sangat berbahaya dan kita punya kesempatan besar untuk mengkonversi BBM ke biofuel. Tanah Indonesia yang subur merupakan aset untuk membangun kemandirian sumber energi terbarukan. AS dan Eropa juga Jepang dan Cina saat ini tengah bahu membahu mengganti ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Pemerintah Indonesia juga sudah seharusnya berpikir jauh ke sana dan langsung mengimplementasikannya ke dalam sistem kerja yang terencana dan terpadu untuk menyongsong kemandirian energi ramah lingkungan ini. AS, misalnya, sudah mulai melaksanakan program untuk menyongsong program tahun 2017, di mana 20 persen bahan bakarnya berasal dari tanaman. Ini artinya, setiap hari di tahun 2017, AS akan membutuhkan lebih dari 8 juta barel biofue. Program ini jelas sangat raksasa dan AS sudah bertekad melaksanakannya.
Nah, bagaimana Indonesia? Pak Soekani di kampung Nyangkowek, Cicurug sudah memulainya. Hanya dengan singkong, Pak Soekani bisa memproduksi 'bensin' masa depan. Padahal singkong adalah tanaman yang amat akrab dengan masyarakat Indonesia. Singkong bisa ditanam di mana saja. Di kampung-kampung, singkong bisa ditanam di samping, depan, dan belakang rumah. Daunnya bisa dijadikan sayuran yang amat bergizi, sedang umbinya adalah bahan untuk membuat etanol yang baik.
Bila ditanam secara serius, dalam satu hektare dapat dihasilkan 100 ton, bahkan 150 ton singkong. Luar biasa bukan? Di masa depan, anak singkong bukan lagi menjadi hinaan, sebaliknya akan jadi pujaan. Ini karena singkong, bukan sekadar makanan sehat yang antidiabet, tapi juga penyelamat krisis energi nasional di masa depan.

Singkong untuk etanol


Bensin Dioplos Singkong


JAKARTA -- "Saya akan bangga mengendarainya ke Istana," kata Kusmayanto Kadiman, Menteri Negara Riset dan Teknologi, ketika mencoba mengendarai mobil Land Rover Discovery putih bernomor polisi 35 itu. "Ini satu-satunya mobil menteri yang memakai bahan bakar campuran bioetanol yang ramah lingkungan," dia menambahkan.

Benar saja, berdasarkan uji yang dilakukan Balai Termodinamika Motor dan Propulsi pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Serpong, Banten, mobil yang memakai bahan bakar gasohol (gasoline alcohol), sedikit menghasilkan emisi karbon monoksida dan total hidrokarbon ketimbang bensin premium. Bahkan gasohol yang dinamakan BE-10--karena campuran 90 persen bensin dan 10 persen bioetanol--itu lebih ramah lingkungan daripada pertamax produksi Pertamina. Pada Kamis (20/1) lalu, Gasohol BE-10 hasil penelitian tim peneliti di Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) BPPT di Lampung diluncurkan secara resmi oleh Menteri Riset dan Teknologi di Jakarta. Hadir dalam acara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta Direktur Jenderal Kimia dan Elektronika Departemen Perindustrian. Mulai hari itu, 10 mobil kerja sama BPPT, General Motor, dan Honda Prospect Motor, melakukan sosialisasi penggunaan Gasohol BE-10. Mobil-mobil itu--termasuk mobil dinas menteri--ditempeli stiker: "Bahan bakar mobil ini Gasohol BE-10 10% bioetanol". Penelitian bioetanol, menurut Bambang Triwiyono, Kepala Bidang Teknologi Diversifikasi pada B2TP, telah dimulai sejak 1983. Kala itu, produksi singkong di daerah-daerah transmigrasi, seperti di Lampung Tengah dan Tulang Bawang, sangat melimpah. Namun, tak ada pabrik yang mengolahnya menjadi produk jadi, misalnya tapioka. Karena itulah, B2TP mengembangkan riset bioetanol dari singkong tersebut. Riset ini sempat mati suri karena secara ekonomi kalah bersaing dengan bahan bakar minyak (BBM) yang harganya disubsidi. Namun, ketika harga minyak mentah melambung dan Indonesia menjadi negara pengimpor minyak bumi, riset bioetanol kembali marak. Bioetanol adalah etanol atau alkohol yang dihasilkan melalui proses fermentasi. Etanol memiliki tiga jenis (grade) berdasarkan kadar alkoholnya. Jenis industrial jika kadar alkoholnya 90-94 persen. Jenis neutral jika berkadar 96-99,5 persen dan digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi. Jika kadarnya di atas 99,5-100 persen termasuk jenis bahan bakar. Saat ini B2TP memiliki pabrik pembuatan bioetanol skala pilot plant di Desa Sulusuban, Bandar Jaya, Lampung Tengah. Pabrik itu mampu mengolah 50 ton singkong menjadi 8.000 liter bioetanol per hari. Untuk memasok kebutuhan pabrik, B2TP masih mengandalkan kebun singkong milik sendiri yang luasnya 700 hektare. Menurut Bambang, karena bibit singkongnya varietas unggul, kebun itu menghasilkan 25-30 ton per hektare. Di daerah Lampung, rata-rata petani singkong menghasilkan 15 ton per hektare. Petani kurang produktif bertanam singkong karena harganya berfluktuasi, tergantung pada kebutuhan pabrik tapioka. Menurut Bambang, jika program Gasohol BE-10 ini berjalan dengan dukungan pemerintah dan rakyat, petani singkong dapat meningkatkan produksinya untuk mereka jual ke pabrik bioetanol. "Jika produktivitasnya di atas 30 ton per hektare, harga per kilonya dapat stabil Rp 200," kata Bambang. Menurut analisis B2TP, di Indonesia bahan baku bioetanol yang paling layak adalah tebu dan singkong. Tebu mengandung kadar gula 20,5 persen. Sayangnya, Indonesia masih kekurangan produksi tebu untuk menghasilkan gula pasir. Pilihan bahan baku jadi jatuh pada singkong yang memiliki kadar pati 25-30 persen. Berdasarkan analisis perbandingan yang dibuat B2TP, 1.000 kilogram biomassa singkong dapat diubah menjadi 166,66 liter bioetanol. Sementara itu, 1.000 kilogram tetes (hasil sampingan gula pasir) dapat diubah menjadi 250 liter bioetanol. Proses pembuatan bioetanol, awalnya seperti produksi tapioka: singkong diparut menjadi bubur. "Jika pada tapioka dilakukan ekstraksi, pada bioetanol dilakukan proses hidrolisis," kata Bambang. Hidrolisis adalah mengubah kandungan pati menjadi glukosa. Cairan gula itu lalu dimasukkan ke tangki fermentasi yang dilengkapi pendingin dan dicampur biakan mikroba. Hasil fermentasi itu adalah etanol berkadar 8-11 persen. Proses selanjutnya adalah distilasi untuk mendapatkan etanol 95-96 persen. "Etanol ini harus melalui proses dehidrasi untuk mengurangi kadar airnya yang 4-5 persen itu," kata Bambang. Hasil akhir adalah bioetanol berkadar 99 persen. Pilot plant B2TP itu baru mampu memproduksi 50 liter bioetanol yang didehidrasi ini. Seiring waktu, pabrik itu akan ditingkatkan skala produksinya sehingga seluruh produksi etanol yang 8.000 liter dapat diubah menjadi bioetanol berjenis bahan bakar. Kalau sosialisasi Gasohol BE-10 berjalan seperti yang diharapkan BPPT, pada 2010, 10 persen konsumsi BBM dapat digantikan Gasohol BE-10. Tapi dibutuhkan kemauan politik pemerintah yang didukung rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat. Dukungan pemerintah itu seperti dilakukan banyak pemerintah di dunia. Di Thailand misalnya, insentif pembebasan pajak perusahaan, bea masuk, dan pajak barang modal selama delapan tahun diberikan pada industri etanol. Sementara itu, Filipina membuat "Ethanol Bill" untuk menyukseskan kebijakan 60 persen kecukupan sendiri energinya sampai 2010. "Indonesia mungkin dengan peraturan pemerintah yang memberi pembebasan pajak bagi pengguna Gasohol BE-10," Kusmayanto menjawab wartawan. Pembebasan pajak? Ya, karena mahalnya biaya produksi, satu saat nanti konsumen yang membeli BBM akan dikenai pajak. Etanol Etanol atau ethyl alcohol kadang disebut juga alkohol atau spiritus. Etanol digunakan dalam beragam industri seperti sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk minuman keras seperti sake atau gin, bahan baku farmasi dan kosmetika, dan campuran bahan bakar kendaraan, peningkat oktan, dan bensin alkohol (gasohol). Sampai saat ini konsumsi etanol dunia sekitar 63 persen untuk bahan bakar, terutama di Brasil, Amerika Utara, Kanada, Uni Eropa, dan Australia. Di Asia, konsumsi terbesar etanol adalah untuk minuman keras. Jepang dan Korea Selatan adalah konsumen etanol terbesar untuk industri ini. Di Indonesia, produksi etanol pada 2002 mencapai 174 ribu kiloliter. Ada enam produsen terbesar etanol Indonesia: Indo Acidatama (46,2 ribu kl), Indo Lampung Distellery (39,6 ribu kl), Molindo Raya Industrial (39,6 ribu kl), Aneka Kimia Nusantara (14,85 ribu kl), PG Rajawali II (10,5 ribu kl), dan Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara XI (7,2 ribu kl). Fungsi etanol sebagai campuran bahan bakar kendaraan memiliki prospek bagus karena makin tingginya harga minyak mentah. Etanol ini berfungsi sebagai penambah volume BBM, sebagai peningkat angka oktan, dan sebagai sumber oksigen untuk pembakaran yang lebih bersih pengganti (methyl tertiary-butyl ether/MTBE). Karena etanol mengandung 35 persen oksigen, ia dapat meningkatkan efisiensi pembakaran. Etanol juga ramah lingkungan karena emisi gas buangnya rendah kadar karbon monoksida, nitrogen oksida, dan gas-gas rumah kaca yang menjadi polutan. Etanol juga mudah terurai dan aman karena tak mencemari air.dody hidayat

Tape singkong

Tape atau uli (bahasa Betawi) adalah sejenis penganan yang dihasilkan dari proses peragian (fermentasi). Tape bisa dibuat dari singkong (ubi kayu) dan hasilnya dinamakan "tape singkong" atau peuyeum. Bila dibuat dari ketan hitam maupun ketan putih, hasilnya dinamakan "tape pulut" atau "tape ketan".
Pembuatan tape memerlukan kecermatan dan kebersihan yang tinggi agar singkong atau ketan dapat menjadi lunak karena proses fermentasi yang baik. Ragi adalah bibit jamur yang digunakan untuk membuat tape. Agar pembuatan tape berhasil dengan baik alat-alat dan bahan-bahan harus bersih, terutama dari lemak atau minyak. Alat-alat yang berminyak jika digunakan untuk mengolah pembuatan tape bisa menyebabkan kegagalan fermentasi. Air juga harus bersih. Menggunakan air hujan juga bisa menyebabkan gagal fermentasi.
Selain dimakan langsung, tape juga enak dijadikan olahan lain atau dicampur dengan makanan atau minuman lain. Seperti tape pulut sangat enak untuk campuran cendol atau es campur, bisa juga diolah kembali menjadi wajik atau dodol. Sedangkan tape singkong selain bisa dijadikan campuran cendol, es campur atau es doger, bisa juga dibuat makanan gorengan rondo royal (tape goreng), colenak, dll.

Singkong untuk peuyeum

Peuyeum adalah makanan yang berasal dari Jawa Barat (daerah Sunda) dan dibuat dari singkong yang difermentasi. Makanan ini mirip dengan tape yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perbedaan utamanya ialah bahwa peuyeum kering dan tape sedikit agak basah. Sebab pada pembuatan dan penyimpanannya peuyeum digantung sedangkan tape ditumpuk.

Singkong sebagai makanan ternak

Biasa digunakan di negara-negara seperti di Amerika Latin, Karibia, Tiongkok, Nigeria dan Eropa.

Manfaat singkong

Dimasak dengan berbagai cara, singkong banyak digunakan pada berbagai macam masakan. Direbus untuk menggantikan kentang, dan pelengkap masakan. Tepung singkong dapat digunakan untuk mengganti tepung gandum, baik untuk pengidap alergi.

Kandungan singkong

Umbi akar singkong banyak mengandung glukosa dan dapat dimakan mentah. Rasanya sedikit manis, ada pula yang pahit tergantung pada kandungan racun glukosida yang dapat membentuk asam sianida. Umbi yang rasanya manis menghasilkan paling sedikit 20 mg HCN per kilogram umbi akar yang masih segar, dan 50 kali lebih banyak pada umbi yang rasanya pahit. Pada jenis singkong yang manis, proses pemasakan sangat diperlukan untuk menurunkan kadar racunnya. Dari umbi ini dapat pula dibuat tepung tapioka.

Sejarah dan produksi singkong dunia

Jenis singkong Manihot esculenta pertama kali dikenal di Amerika Selatan kemudian dikembangkan pada masa pra-sejarah di Brasil dan Paraguay. Bentuk-bentuk modern dari spesies yang telah dibudidayakan dapat ditemukan bertumbuh liar di Brasil selatan. Meskipun spesies Manihot yang liar ada banyak, semua varitas M. esculenta dapat dibudidayakan.
Produksi singkong dunia diperkirakan mencapai 184 juta ton pada tahun 2002. Sebagian besar produksi dihasilkan di Afrika 99,1 juta ton dan 33,2 juta ton di Amerika Latin dan Kepulauan Karibia.
Singkong ditanam secara komersial di wilayah Indonesia (waktu itu Hindia Belanda) pada sekitar tahun 1810[1], setelah sebelumnya diperkenalkan orang Portugis pada abad ke-16 ke Nusantara dari Brasil.

Apa itu singkong?

Singkong adalah umbi atau akar pohon yang panjang dengan fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia.
Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionin.
Singkong, yang juga dikenal sebagai ketela pohon atau ubi kayu, dalam bahasa Inggris bernama cassava, adalah pohon tahunan tropika dan subtropika dari keluarga Euphorbiaceae. Umbinya dikenal luas sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran.